RedaksiHarian – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ( YLBHI ) mengkritik pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo ( Jokowi ) yang disampaikan di Sidang Tahun MPR 2023, Rabu, 16 Agustus 2023. Pernyataan Jokowi mengenai Indonesia memiliki international trust atau kepercayaan internasional justru mengebiri kesejahteraan rakyat. Hal itu terlihat dari utang luar negeri Indonesia malah semakin gemuk guna melancarkan agenda ekonomi oligarki .
“Sebagai contoh adalah agenda reforma agraria yang didanai oleh Bank Dunia yang semakin mempermudah perusahaan-perusahaan perusak lingkungan membidik tanah-tanah rakyat,” kata Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur dalam keterangan tertulis mewakili lembaga itu pada Kamis, 17 Agustus 2023.
Nyatanya, kepercayaan internasional juga tidak digunakan oleh Joko Widodo untuk mendorong pemajuan HAM di Asia Tenggara dengan ketidaktegasannya melawan Junta Militer Myanmar.
ADVERTISEMENT
Presiden juga menyebut Indonesia telah konsisten dalam menjunjung hak asasi manusia, kemanusiaan, dan kesetaraan. Kenyataannya, skor indeks demokrasi di Indonesia mengalami penurunan terburuk semenjak satu dekade terakhir yang ditandai dengan semakin menyempitnya kebebasan sipil.
Rakyat dinilai semakin takut berpendapat. Penurunan tersebut dengan sendirinya secara tidak langsung telah diafirmasi oleh Jokowi dalam pidato tersebut dengan mengatakan bahwa “kebebasan dan demokrasi digunakan untuk melampiaskan kedengkian dan fitnah”.
Jokowi juga terbukti tidak punya niat baik untuk menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM). Hal itu dibuktikan dengan mangkraknya banyak kasus pelanggaran HAM masa lalu atau langkah pencitraan dengan penyelesaian melalui Perpres penyelesaian pelanggaran HAM non judicial yang tak sejalan dengan standar pemenuhan hak korban. Bahkan, pelanggaran HAM justru terus dilakukan negara dengan bentuk-bentuk kebijakan yang menindas hak-hak rakyat dan praktik kekerasan brutal yang dilakukan oleh aparat negara terhadap rakyat.
Ambisi rezim Jokowi dalam mendorong hilirisasi mineral juga menimbulkan konsekuensi besar bagi keselamatan rakyat dan lingkungan hidup. Hilirisasi mana dilakukan dengan perluasan jaringan infrastruktur melalui Proyek Strategis Nasional (PSN) telah melahirkan kawasan-kawasan industri baru yang menggusur, merampas dan menyingkirkan rakyat dari ruang hidupnya.
Di sisi lain, narasi rezim Jokowi yang menyatakan hilirisasi mineral akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan serapan tenaga kerja dianggap hanyalah omong kosong, bahkan berbanding terbalik. Faktanya, operasi pembangunan kawasan industri mengabaikan keberadaan masyarakat setempat dan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya (kasus Wawonii, Morowali, Bantaeng, Luwu Timur, dan Maluku).
Dampak lanjutan dari fakta tersebut adalah hilangnya pekerjaan dan sumber mata pencaharian masyarakat setempat, konflik sosial, terjadinya bencana alam dalam intensitas yang tinggi misalkan banjir, tanah longsor hingga kekeringan ekstrem yang secara perlahan mengakibatkan tersingkirnya masyarakat dari ruang hidup dan ruang ekologisnya.
Jokowi dalam pidato juga mengatakan bahwa ia telah konsisten menjalankan reformasi struktural. Namun, apa yang disebutnya sebagai reformasi struktural tersebut justru menginjak-injak kesejahteraan rakyat, melanggengkan korupsi. Pada 2019, Jokowi bersama dengan DPR dinilai kompak melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan merevisi Undang-Undang KPK, Revisi UU MK. Dengan DPR pula, Jokowi mengesahkan produk hukum yang ia gadang-gadang akan menyederhanakan regulasi guna memudahkan proses-proses perizinan, yakni Undang-Undang Cipta Kerja.
Setali tiga uang, produk hukum tersebut tidak hanya menyederhanakan regulasi. Namun juga memperkuat sentralisasi kekuasaan, membahayakan demokrasi rakyat, dan juga yang paling penting bagi rezim yaitu memberi karpet merah investasi.
YLBI menyatakan, masuk akal jika Presiden juga mengatakan DPR telah menjadi sekutu yang luar biasa besar kontribusinya dalam mendukung reformasi struktural. Hal itu karena ‘gotong royong’ antara pemerintah dengan DPR selama Jokowi berkuasa telah menghasilkan kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan agenda Pemerintah dan oligarki .
“Ini menunjukkan mekanisme check and balances substansial antarlembaga negara dalam prinsip trias politica tidak berfungsi. Namun, justru menjadi orkestra kongkalikong Pemerintah dan DPR memproduksi kebijakan-kebijakan pro oligarki .”
Bahkan ketika UU Cipta Kerja diputus inkonstitusional bersyarat oleh MK dan Presiden dan DPR diperintahkan merevisi, justru terbit Perpu yang dinilai ilegal. Minusnya oposisi di dalam lembaga-lembaga pemerintahan Indonesia saat ini menunjukkan pul lahirnya kembali watak-watak otoritarianisme negara.
Jokowi dalam pidatonya juga mengapresiasi kinerja Mahkamah Agung (MA) dengan menghubungkan dengan perkara teknis sistem peradilan elektronik, transparansi, dan juga biaya penanganan perkara. Namun, substansi keberadaan lembaga yudikatif Mahkamah Agung bukan di situ.
YLBHI menilai MA justru masih menjadi pusat pusaran korupsi peradilan. MA selama ini juga turut berkontribusi dalam melemahnya upaya pemberantasan korupsi dengan obral diskon masa hukuman kepada para koruptor melalui proses peninjauan kembali.
MA justru menunjukkan kelemahannya terhadap independensi kekuasaan kehakiman yang harus dijunjung tinggi. Hal tersebut terlihat dalam kasus Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan yang mampu memblokade akses peradilan untuk perkara-perkara lain di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Hal tersebut terjadi ketika dirinya dihadirkan sebagai saksi dalam sidang kasus kriminalisasi Haris dan Fatia.
“Tak hanya itu, kita(kami) melihat pengadilan HAM Kasus Paniai dan sidang tragedi Kemanusiaan Kanjuruhan yang mempermainkan rasa keadilan masyarakat,” kata Isnur.
Jokowi terlihat pula menggiring opini publik dengan mengarahkan penilaian kinerja lembaga yudikatif pada kinerja-kinerja teknis semata–termasuk apresiasinya terhadap lembaga MK. Nyatanya, revisi UU MK yang menguntungkan para hakimnya, pemberian tanda jasa Bintang Mahaputera kepada para hakim MK, termasuk pernikahan adik Presiden Jokowi , Hakim Ketua MK Anwar Usman telah membawa lembaga garda terakhir penjaga konstitusi terjebak pusaran conflict of interest.
Independensi Mahkamah Konstitusi juga semakin limbung dengan putusan komprominya dalam gugatan UU Cipta Kerja. Apalagi recall ilegal Hakim Aswanto oleh DPR. Kini, MK telah berubah dari fungsi idealnya sebagai garda terakhir penjaga konstitusi menjadi garda terakhir penjaga oligarki dan kekuasaan.
Dalam pidatonya, Jokowi juga absen terhadap beberapa hal. Pertama, tidak segera dibahas dan disahkannya Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat dan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang selama ini konsisten didorong oleh rakyat guna melindungi hak asasi dua kelompok masyarakat tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa Jokowi hanya memberikan apresiasi terhadap kinerja DPR meloloskan berbagai produk kebijakan yang menguntungkan oligarki .
Kedua, Jokowi juga absen membahas masalah kemanusiaan dan pelanggaran HAM di Papua. Tentu keabsenannya itu sejalan dengan kebohongannya bahwa pemerintah masih konsisten menjaga hak asasi manusia warga negaranya. Terakhir, reformasi sektor kepolisian juga absen dalam ‘reformasi struktural’ yang terus-menerus disebut oleh Jokowi dalam pidato.
Pidato Jokowi yang masih mementingkan angka pertumbuhan ekonomi, komentar sinis terhadap kebebasan dan demokrasi, janji manis penuh ilusi terhadap komitmen menjaga HAM membuktikan elit oligarki masih bebas menari di atas penderitaan rakyat di umur Indonesia yang sudah 78 tahun ini.***
Post Views: 1
Quoted From Many Source